DI DEPAN PINTU GERBANG KEMERDEKAAN INDONESIA

DI DEPAN PINTU GERBANG KEMERDEKAAN INDONESIA

Oleh Herman Satmoko

 Dan perjuangan pergerakan rakyat Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rahyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

(Pembukaan UUD 1945, alinea ke-2 dan ke-3)

Kalimat-kalimat ini adalah kalimat sakral yang menegaskan bagaimana akhir perjuangan dalam mengusir penjajah dari negeri kita.

Berapa kalikah kita menyebutkan dan atau mendengar kalimat-kalimat ini selama hidup kita?

Apakah itu adalah sesuatu yang benar-benar tidak bisa ditawar lagi sehingga kita cukup dengan mengamini dan menerima saja?

Kira-kira adakah pertanyaan yang muncul dari kata-kata tersebut di atas?

Atas dasar nasionalisme dan patriotisme, yang siap membela Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati sampai titik darah penghabisan, marilah kita melihat sebuah pandangan lain yang mungkin akan serta merta ditolak oleh pemahaman kita. Tetapi mungkin setelah itu pandangan ini bisa saja akan mengusik pikiran dan hati kita semua sebagai Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Negara INDONESIA yang tercinta.

Saya ingin bercerita tentang seorang sahabat saya yang bernama Sewoyo alias Yoyo. Suatu ketika kami dan teman-teman Pencinta Alam Banjarnegara berdiskusi di pojok alun-alun Banjarnegara tentang bagaimana memperbaiki Bangsa dan Negara kita tercinta ini. Ketika kami asyik berdiskusi satu persatu dari kami saling berpendapat dan sudah pasti diselingi dengan debat kecil penuh keceriaan dan kekeluargaan khas gaya pencinta alam. Dan alhasil diskusi dan perdebatan kami berujung pada dead lock tentang apa yang akan kita lakukan untuk membuat perubahan yang signifikan dan fundamental. Ketika semuanya terdiam dan berpikir si Yoyo yang sebelumnya hanya diam cuek dan asyik menghabiskan bungkusan rokok saya akhirnya angkat bicara,”aku cuma ingin jadi presiden, dan yang pasti pertama aku lakukan adalah mengamandemen pembukaan UUD 1945”. “Hahh..?? Apa yang mau diamandemen lagi, sudah berulang kali dilakukan tapi tetep aja belum signifikan”, sanggahku. “tenang saja aku nggak akan banyak merubah kok, aku hanya merubah satu kata saja dari kata di depan pintu gerbang akan aku rubah menjadi memasuki pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, itu saja”, katanya dengan sangat ringan. “Kok bisa? Apa kaitannya dengan semua ini?”, tanya seorang teman kepada Yoyo. “Coba kalian pikirkan, selama ini kita baru di depan dan sama sekali belum masuk. Mana mungkin kita merdeka kalau cuma di depan pintu gerbang saja. Coba bayangkan lagi bagaimana cara masuknya wong kita juga belum tahu gerbangnya dibuat dari apa, terus kuncinya ada apa nggak. Jadi menurutku kalian berdiskusi sampai mati ya percuma saja, itu bisa saja dilaksanakan kalau kita betul-betul sudah merdeka. Makanya tolong dong dukung aku jadi presiden..ha..ha..ha..”, katanya. “Dasar gila..! Siapa yang mau milih kamu jadi presiden, ngurus lumpur di belakang rumahmu, ngurus hidupmu saja nggak becus, apalagi ngurus Negara..!!”, kata teman-teman. Dan akhirnya diskusi kami berakhir begitu saja.

Setelah hampir setahun diskusi kami tadi, kebetulan saya mendapatkan tugas untuk menjaga gerbang kantor pada waktu upacara bendera rutin yang dilaksanakan setiap tanggal 17 sebulan sekali. Seperti halnya tata upacara sipil pada umumnya, pada pelaksanaan upacara tersebut juga dilaksanakan pembacaan Teks Pembukaan UUD 1945, dan tentunya diperdengarkan kata-kata yang dulu pernah kami diskusikan. Saya jadi berpikir bahwa minimal satu bulan sekali 169 karyawan di kantor kami dan seluruh kantor di Pemerintah Daerah kami selalu mengamini kata-kata yang dulu dikatakan Yoyo. Dan artinya juga ratusan juta guru dan pelajar setiap hari Senin mengamini kata-kata tersebut. Doa bangsa ini bahwa kita sudah cukup merasa “MERDEKA” walau hanya DI DEPAN PINTU GERBANG KEMERDEKAAN INDONESIA YANG MERDEKA, BERSATU, BERDAULAT, ADIL DAN MAKMUR. Ironisnya lagi di alinea ke-3 malah kita sudah dengan mantap mengatakan, “ATAS BERKAT RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA SERTA DENGAN DIDORONG OLEH KEINGINAN LUHUR SUPAYA BERKEHIDUPAN KEBANGSAAN YANG BEBAS MAKA RAKYAT INDONESIA MENYATAKAN DENGAN INI KEMERDEKAANNYA”. Kata-kata ini sangat mengusik pikiran dan hati saya, karena ternyata selama ini kita merasa dan menyatakan merdeka, karena kita masih sepakat untuk cukup di depan Pintu Gerbang Kemerdekaan Indonesia saja. Kata-kata adalah doa, dan Tuhan akan mengabulkan doa kita, apalagi doa kita ini dipujikan ratusan juta jama’ah setiap hari Senin, setiap tanggal 17 dan setiap peringatan hari Kemerdekaan kita. Tapi apa yang harus saya lakukan..??

Setelah beberapa tahun berlalu saya sering mendiskusikan hal ini dengan teman-teman yang lain, ada yang sependapat dengan saya walaupun kebanyakan menganggap gila, seperti tanggapan saya dulu kepada Yoyo. Dan akhirnya saya mendapatkan kesempatan emas untuk ikut dalam diskusi yang diselenggarakan oleh DPD KNPI Banjarnegara tentang kebangsaan dan Pancasila serta UUD 1945 dengan narasumber Gus Romi seorang anggota MPR yang membidangi masalah konstitusi dan kebangsaan, serta pakar hukum ketatanegaraan seorang dosen dari Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto. Pada kesempatan itu saya akhirnya dapat menyampaikan pemikiran saya di atas mengenai amandemen satu kata pembukaan UUD 1945. Dan seperti biasanya juga ternyata juga sebagian setuju dan sebagian besar lainnya tertawa tergelak-gelak seperti mendengar sebuah lelucon, bahkan sang narasumber dari Unsoed (saya lupa namanya) bahkan mengatakan bahwa seperti halnya karakter seorang Pencinta Alam kadang suka berpikir nyleneh (aneh-aneh). Saya kurang sependapat dengan opini tersebut, kami memang sering berpikir dengan cara pandang yang berbeda dengan kebanyakan orang tapi tentunya itu bukan hal yang aneh dan dalam iklim demokrasi, tanggapan seorang pakar atas pertannyaan seperti ini bagi kami malah sangat aneh. Jawaban dari beliau adalah kita tetap harus mengakui bahwa kita memang sudah merdeka sesuai dengan amanat dalam aline ke-3 pembukaan UUD 1945. Dan jawaban berikutnya adalah adanya sebuah kesepakatan dari semua tokoh pakar konstitusi yang juga sudah ditetapkan dalam rapat MPR bahwa pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah-ubah. Argumen dari para narasumber adalah seharusnya kita shalut pada para pendiri Negara kita yang telah berani menyatakan kemerdekaan dalam situasi politik pada saat itu.

Jujur saja saya sebenarnya sangat belum puas dengan jawaban seperti itu dan saya pikir tidak perlu memperpanjang perdebatan atau saya mungkin saja akan dianggap semakin aneh. Tapi biarlah saya tetap berpikir positif saja, karena untuk memahami pemikiran seperti ini dari teman saya Yoyo, saya juga butuh waktu yang cukup lama. Mungkin saja mereka juga butuh waktu untuk memahami pemikiran teman saya, dan semoga juga akan terusik juga pikiran dan hatinya seperti yang saya rasakan sampai saat ini.

Dari kasus di atas tentunya bukan maksud saya mengarahkan untuk mendiskreditkan tokoh yang saya kemukakan di atas, tapi yang hendak saya kemukakan adalah sebuah cara pandang yang berbeda dalam kecintaan kita terhadap bangsa dan Negara Indonesia kita tercinta. Bahwa kita selama ini sadar atau tidak sadar seakan telah menjebakkan diri pada sebuah kondisi yang bukanlah yang kita inginkan yaitu kita telah merasa cukup merdeka walaupun hanya di depan pintu gerbang Kemerdekaan Indonesia. Sekali lagi saya mengingatkan bahwa kata-kata adalah doa, dan sekali lagi saya mengingatkan bahwa untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenar-benarnyanya yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur tentunya banyak hal yang bisa dilakukan, dan salah satunya mungkin dengan cara pandang yang berbeda dan dianggap ‘ANEH’.  Tentunya itu hanyalah sebuah sebuah alternatif pemikiran yang harus dikaji, dikupas dan dibahas secara mendalam lagi. Dan khusus kepada sahabatku Yoyo, terimakasih kawan atas pemikiran ‘aneh’mu, semoga sekecil apapun kita selalu tetap bisa berjuang dan berbuat sesuatu untuk negeri kita tercinta Indonesia, minimal untuk menenangkan gangguan hati dan pikiran kita selama ini. Tapi maafkan aku wahai sahabatku.. aku tidak akan mendukungmu jadi Presiden. Tidak akan pernah..he..he..he..

Terakhir saya mengajak atas dasar Nasionalisme dan Patriotisme kita, saat ini dari posisi kita masing-masing marilah kita memandang Pintu Gerbang Kemerdekaan Indonesia dengan baik. Kita boleh mendekatinya karena secara konstitusional itu masih diperbolehkan. Kita lihat seberapa besar gerbang itu, apakah cukup untuk dimasuki oleh 250 juta Rakyat Indonesia, apakah gerbang itu terbuat dari kayu, dari Tirai Bambu atau Tirai Besi? Apakah gerbang itu terkunci? Dan pertanyaan terakhir adalah siapa yang akan membuka kunci gerbang tersebut dan memimpin kita untuk memasukinya, sedangkan mungkin saat ini tidak ada siapapun yang tahu siapakah pemilik kunci Gerbang Kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur…

JAYALAH BANGSAKU, JAYALAH TANAH AIRKU, JAYALAH INDONESIAKU, MERDEKA….!!!!!

*) Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil Pemkab Banjarnegara, dan Anggota Sekretariat Bersama Pencinta Alam Banjarnegara

4 Comments »

  1. 1

    1. pada tanggal 17 agustus 1945 pintu gerbang kemerdekaan indonesia terbuka.
    2. rakyat Indonesia di depan “pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
    3. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini “kemerdekaannya”.
    4. kira-kira point 4 ini diisi apa lagi ya…….?

  2. 3
    N- 212 Says:

    Pintu gerbang kemerdekaan tsb sudah dibuka di kota Bogor pada tgl 17 Desember 2015.

  3. 4
    Nagawantoe Says:

    Kalau anda mau tau PINTU. Dari gerbang kemerdekaan , datang lah ke G.A.L.E.R
    i. Bung Karno di Bogor. ( Gaungkan Ampat Lima Empati Rastu Indonesia dari Bung Karno ). Selamat jumpa nanti.


RSS Feed for this entry

Tinggalkan komentar