Arsip untuk September 19th, 2012

SEBUAH MIMPI YANG HILANG

September 19, 2012

 SEBUAH MIMPI YANG HILANG

 

”Mereka benar-benar mengejar kita Wiratha,” seru Senadi. Dia memacu kudanya mencoba mendahului kawannya itu. Namun dia harus mengakui, kudanya memang kalah cepat. Dia gagal mencapai Wiratha.

”Maksudmu kedua prajurit Tuban di pedukuhan tadi,” sahut Wiratha. Pemuda bertubuh tegap itu menoleh ke belakang mengurangi kecepatan kudanya dan membiarkan Senadi menyusulnya, sebagian rambutnya yang tidak tersanggul terurai berkibar-kibar diterpa angin.

Dari kejauhan tampak empat orang penunggang kuda tengah berjuang keras mamacu kudanya ke arah mereka. ”Bukan dua, sekarang ada empat orang,” jawab Senadi. Wiratha mengangguk, terlihat olehnya dua di antara keempat ekor kuda itu tertinggal belasan tombak dibelakang. Dua yang lain mampu berlari untuk mengimbangi langkah kaki kuda Wiratha dan Senadi.

”Sial, menurutmu apakah kita perlu melayani mereka,” tanya Wiratha.

”Terserah kau saja, tapi tampaknya kita masih cukup jauh untuk mencapai perbatasan,” jawab Senadi. Mereka masih terus memacu kudanya dengan kencang, kerikil kecil yang bercampur debu jalanan berserakan ketika terlindas tapal kuda tunggangan kedua pemuda itu.

Wiratha berpikir mereka telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari pelabuhan Tuban, kudanya sudah kelelahan. Jika mereka terus berlari dia yakin keempat orang pengejarnya itu cepat atau lambat pasti akan berhasil melampaui mereka dan pada saat itu mereka telah kehabisan tenaga untuk melawan.

”Kita tidak punya pilihan Senadi, kita terpaksa menghadapi mereka,” desis Wiratha. Tiba-tiba dia menarik keras tali kekang kudanya, lalu diikuti oleh rekannya, Senadi. Ringkikan keras terdengar sebelum akhirnya kedua kuda itu berhenti. Wiratha dan Senadi berpaling ke arah para pengejarnya, menunggu.

”Apakah kita punya kesempatan Wiratha,” berkata Senadi.

”Apa yang kau harapkan?” sahut Wiratha. Mereka menatap tajam para pengejarnya yang sudah semakin dekat menyusul.

”Baiklah Senadi, kita bertempur. Aku sudah terbiasa bertempur di atas punggung kuda, semenjak di Daha aku sudah masuk ke dalam jajaran pasukan berkuda. Kuharap kau nanti tidak akan merepotkanku, apalagi saat ini kita kalah medan, ini wilayah mereka,” Wiratha segera mencabut kerisnya dari dalam warangka.

”Tunggu Wiratha, tidakkah lebih bijak jika kita menanyakan dulu apa maksud mereka mengejar kita?”

”Mereka prajurit Tuban, aku mengenal pakaian mereka. Besok Majapahit dan Tuban akan berperang, apakah kau berharap mereka akan melepaskan kita begitu saja, apalagi setelah mengetahui bahwa kita baru saja menyusup masuk ke dalam wilayah mereka?” jawab Wiratha.

”Lalu, kita akan langsung menyerang mereka?”

”Kau ingin musyawarah dahulu dengan mereka? Ingatlah, mereka berempat. Kita harus mengambil keuntungan dalam serangan pertama, selagi kedua penunggang kuda yang lain masih tertinggal jauh dibelakang,” Wiratha menepuk punggung kudanya, dan memacu langsung kearah para pengejarnya. Keraguan Senadi pupus menyaksikan keyakinan kawannya itu, dia pun segera menghunus kerisnya, dan melesat menyusul Wiratha.

Sebenarnya Wiratha bertaruh, dia harus berhasil menjatuhkan salah seorang musuhnya pada benturan pertama begitu pula Senadi. Namun apabila gagal, maka mereka akan berhadapan dengan empat orang lawan sekaligus, itu artinya sedikit peluang bagi mereka untung menang.

Beberapa saat kemudian Wiratha dan Senadi justru berpacu menyambut para pengejarnya, seolah akan menabrak kedua kuda yang tengah melaju kencang kearah mereka. Sementara jauh di belakang kedua prajurit Tuban itu masih menyusul pula dua penunggang kuda lainnya.

Dua orang prajurit Tuban itu semakin dekat, para penunggangnya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya, mereka pun telah menarik senjata. Raut tegang tergambar jelas di wajah kedua orang itu, seorang berperawakan besar dengan wajah yang penuh janggut berada dalam posisi yang lebih depan, dia membawa keris kalawija, sebuah keris panjang yang memiliki luk lebih dari tiga belas. Dan yang seorang lagi adalah seorang lelaki berkumis tebal dengan dada bidang, dia menggenggam sebilah keris lurus sepanjang lengan di tangan kanannya.

Wiratha menahan nafas sejenak, merapal mantra kemudian bersiap menghantam penunggang terdepan. Dia berharap Senadi pun telah siaga untuk menghadapi orang yang kedua.

Pada saat yang tepat, Wiratha telah mengayunkan kerisnya ke arah dada lawan. Tidak seperti kelihatannya, Lelaki berbadan besar itu ternyata lebih lincah dari yang diperkirakan Wiratha. Dia sempat mengelak dari tikaman tersebut, namun tak urung senjata Wiratha berhasil meninggalkan sayatan yang cukup dalam pada punggung kiri prajurit Tuban itu pada serangan kedua. Dia mengerang kesakitan, darah segar mengucur deras hingga membasahi pelana kudanya.

Musuh di depan mata, sesaat hati Senadi menjadi semakin berdebar-debar, pengalamannya dalam olah keprajuritan memang belum sematang Wiratha. Sekarang terlambat untuk mundur, kata Senadi dalam hati.

Ketika dia masih termangu-mangu, prajurit Tuban dihadapannya telah mengayunkan kerisnya. Senadi berhasil berkelit, tapi dia kehilangan kendali terhadap kudanya, diapun terpeleset jatuh dari atas punggung kuda bergulingan di atas tanah. Ternyata lawan Senadi sepertinya juga bukanlah petarung handal ketika berada di atas kuda, dia lebih memilih melompat turun menyusul Senadi.

”Kalian pasti telik sandi Majapahit?” lelaki berkumis tebal itu berseru.

”Sudah jelas kami dari Majapahit,” sahut Senadi. Dia segera menyiapkan ancang-ancang bersiap untuk menghadapi serangan lawan, matanya menatap tajam penuh waspada. ”Tapi kami bukan telik sandi, kami prajurit Majapahit.”

”Siapapun kau, yang jelas kau akan mati sekarang, bahkan sebelum peperangan yang dimulai besok pagi,” geram prajurit itu.

Pada saat yang bersamaan, Wiratha telah memutar kuda dan langsung menyambar musuh dengan ujung kerisnya. Serangan itu merobek lengan kanan prajurit Tuban di depannya, keris kalawija milik lelaki berbadan besar itu terjatuh di atas semak belukar diringi jerit kesakitan. Prajurit Tuban itu menatap Wiratha dengan cemas, dia berharap kedua kawannya yang lain segera tiba untuk menolongnya. Dengan susah payah lelaki itu berusaha menarik kekang kudanya dan memerintahkan untuk mundur meninggalkan arena pertempuran. Sebenarnya Wiratha bisa menghadang dan membunuh lelaki tersebut, akan tetapi tiba-tiba rasa iba muncul saat melihat sorot mata ketakutan lawannya.

Terdengar suara derap kaki kuda yang semakin dekat menghampiri mereka, lawan Wiratha bergegas menyambut kedatangan dua kawannya itu, darah merah kehitaman kental masih terus mengalir keluar dari punggung dan lengan kanannya. Wiratha hanya diam memandang kedatangan dua orang prajurit Tuban lainnya dengan waspada. Matanya menatap tajam selaksa elang yang tengah mengincar mangsanya, tangannya masih erat menggenggam keris yang telah ternoda oleh darah musuh.

Sementara itu Senadi sendiri masih sibuk dengan pertempurannya, dia berkelit ke samping manakala prajurit Tuban itu menikam kearahnya. Bahkan secara bersamaan Senadi berhasil mendaratkan sebuah tendangan yang langsung bersarang telak di lambung prajurit itu.

Dia terhuyung-huyung mundur ke belakang menahan serangan Senadi, namun dengan tangkas lelaki berkumis tebal itu kembali menguasai dirinya, dia segera mengambil langkah pertahanan.

Tidak ingin kehilangan kesempatan selagi musuhnya sedang goyah, Senadi langsung menerjang dengan kerisnya. Keduanya pun kembali bertempur dengan sengit, rasa percaya diri Senadi semakin kuat manakala dia telah mulai berada di atas angin. Berbeda dengan Wiratha, dia memang lebih menyukai pertempuran dengan kedua kaki yang menginjak tanah daripada harus bertarung di atas punggung kuda.

Setelah beberapa saat, prajurit Tuban itu mulai kewalahan. Dia semakin panik tatkala serangan Senadi secara bertubi-tubi mencercanya tanpa celah, melihat lawan yang semakin kehilangan daya tempur maka Senadi ingin segera menuntaskan pertempuran. Dia mengayunkan kerisnya menuju lambung lawan, beruntung prajurit Tuban itu masih sempat mengelak. Namun pertahanan bagian atasnya terbuka, serangan Senadi selanjutnya berhasil dengan cepat mematuk bagian tepi dada lawan.

Darah mengucur dari luka yang ditimbulkan Senadi, memang tidak mengenai organ vital akan tetapi luka itu cukup dalam. Lelaki itu mengerang kesakitan dan jatuh terduduk, dia berusaha tertatih-tatih merangkak menepi dari medan laga, belum mati.

Senadi baru menyadari pertempuran antara Wiratha melawan kedua prajurit Tuban yang baru datang itu telah dimulai, sedangkan penunggang kuda yang sebelumnya telah dilukai Wiratha kini sudah tak berdaya terkulai di atas punggung kudanya. Tampaknya warangan dari keris Wiratha mulai merasuk ke dalam tubuh prajurit itu. Senadi menatap kagum, meskipun menghadapi dua orang lawan namun Wiratha tidak mengalami kesulitan. Dalam hati dia mengakui, Wiratha memang pantas menjadi salah seorang pasukan berkuda Majapahit.

Melihat kemampuan kedua lawannya, Wiratha tahu meskipun menunggang kuda namun mereka bukanlah berasal dari pasukan berkuda. Tampaknya mereka hanyalah prajurit biasa yang kebetulan meronda, kemudian secara tidak sengaja memergoki Wiratha dan Senadi sedang memacu kuda dengan kencang di pedukuhan yang sebelumnya telah mereka lewati.

Di sela-sela pertempuran tiba-tiba Wiratha melakukan gerakan yang tidak diduga kedua lawannya, dia merobek leher kuda salah satu prajurit itu. Kuda itu meringkik keras, darah mengucur dari bekas sayatan yang menganga. Karena kesakitan, kuda itu meronta-ronta kemudian jatuh bergulingan di semak belukar. Sementara penunggangnya terlempar jatuh setelah punggungnya membentur dengan keras sebatang pohon jati di tepian jalan terlebih dahulu, lelaki itu berteriak sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri.

Penunggang kuda yang keempat terkejut tatkala kudanyapun tergelincir jatuh ke parit, rupanya kuda kawannya itu saat meronta secara tidak sengaja telah menendang kaki kuda tunggangannya. Dia pun terhempas jatuh di atas jalanan setapak yang keras dengan ilalang di kiri dan kanannya.

Prajurit Tuban itu segera bangkit, meskipun telah kehilangan kudanya tapi dia kembali bersiap untuk melanjutkan perlawanan. Lelaki itu bertubuh tinggi tegap dengan bahu lebar dan berjenggot tebal, otot-otot yang terlihat di lengannya menunjukan kekuatannya.

Prajurit itu tampak resah, dilihatnya ketiga temannya yang sudah tidak berdaya. Dia tidak mungkin mendapat pertolongan, sementara dua orang lawan yang mengepungnya dalam kondisi yang masih segar bugar.

”Sudahlah, kita hentikan saja pertikaian ini. Kami sebenarnya tidak ingin melawan kalian sebelum hari pertempuran besok, kalian yang memaksa kami. Menyerahlah, percuma saja kau tetap melawan,” ujar Wiratha yang masih duduk diatas punggung kuda.

”Ya menyerahlah,” tukas Senadi.

Prajurit itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bila pertempuran dilanjutkan dia tetap tidak mungkin bisa menang. Kemudian dengan gelisah dia berkata kepada Wiratha dan Senadi, ”Lalu kalian akan membunuhku?”

”Jika kau menyerah tentu saja tidak,” Wiratha menjawab.

”Lalu,”

”Bawa teman-temanmu yang terluka itu pergi, dan jangan coba untuk mengejar kami lagi. Pertempuran antara Majapahit dengan Kadipaten Tuban baru ditentukan besok. Jika kau masih ingin melanjutkan urusan ini denganku, maka kau bisa mencariku besok di medan pertempuran. Namaku Wiratha,” kata Wiratha, matanya memancarkan kesungguhan.

”Baiklah, aku menyerah. Pergilah, prajurit Tuban tidak akan ada yang mengejar kalian lagi hingga perbatasan,” setelah berpikir sejenak dan yakin kedua lawannya itu tidak mempermainkannya, prajurit Tuban tersebut menyanggupi syarat yang diajukan kedua pemuda itu.

Beberapa saat kemudian, setelah Senadi mendapatkan kudanya kembali, kedua pemuda Majapahit tersebut bergegas berlalu meninggalkan prajurit Tuban bertubuh tinggi tegap yang sedang mengumpulkan kawan-kawannya yang terluka ke tepi jalan menghampiri kuda-kuda mereka.

Sebelum berlalu dari tempat itu sejenak Wiratha menoleh, kemudian berseru kepada prajurit itu.”Siapa namamu, Ki Sanak?”

”Namaku Dirgabau,” teriak prajurit itu dari kejauhan.

X         X         X

Keesokan harinya, matahari mulai beranjak dari peraduan, sinarnya membias dengan lembut ke seluruh permukaan bumi. Dari pesanggrahan pasukan Majapahit yang dibangun tidak jauh dari perbatasan Kadipaten Tuban, terdengar riuh rendah bunyi gong-gong ditabuh sebagai tanda bahwa persiapan perang telah dimulai. Para senopati tampak sibuk mempersiapkan barisan prajuritnya masing-masing. Beberapa punggawa Majapahit yang turut serta dalam peperangan telah terlihat duduk diatas pelana kuda mereka sembari membicarakan strategi perang yang akan digelar.

Kemudian arak-arakan bala tentara Majapahit itu mulai bergerak perlahan menuju medan pertempuran yang telah ditentukan. Jumlah pasukan tak terbilang banyaknya, sambil lalu mereka terlihat laksana air bah yang meluber dari atas gunung lalu membanjiri hutan-hutan.

Jalan-jalan dipenuhi barisan para prajurit yang bergerak silih berganti seakan tiada putus-putusnya. Sorak-sorai mereka saling bersahutan terdengar menggelegar bagaikan ribuan halilintar. Binatang-binatang penghuni hutan yang terlewati berlarian tercerai berai mendengar derap langkah pasukan Majapahit. Pakaian mereka gemerlapan diterpa terik matahari. Bendera-bendera dan umbul-umbul berwarna merah putih yang beraneka ragam bentuknya berkelebat tampak seperti tarian naga di tengah lautan manusia.

Akhirnya rombongan bala tentara Majapahit berhenti setelah tiba disebuah tanah lapang yang telah ditentukan sebagai medan pertempuran oleh kedua belah pihak, di daerah aliran sungai Tambak Beras. Para senopati kembali mempersiapkan barisan pasukan sesuai gelar perang yang akan digunakan.

Yang memimpin pasukan terdepan adalah para punggawa senior Majapahit yang sebelumnya telah malang melintang dalam berbagai medan perang untuk mengharumkan kebesaran nama Majapahit. Lembu Sora selaku senopati utama, dia mendapatkan perintah langsung dari sang Prabu untuk menangkap pemimpin pemberontakan yakni adipati Tuban yang tak lain adalah kemenakannya sendiri. Disertai pula oleh para punggawa Majapahit yang lain, di antaranya Kebo Anabrang, Gagak Sarkara, Majang Mekar, dan Patih Nambi.

Sementara itu di seberang tanah lapang perbatasan Kadipaten Tuban tersebut, telah menunggu bala tentara Tuban yang tak terbilang jumlahnya dengan di pimpin langsung oleh adipatinya sendiri, Ranggalawe. Dia didampingi oleh para pengikut setianya, Mantri Gagarangan dan Tambak Baya.

Meskipun jumlah mereka tidak sebanyak pasukan Majapahit, semangat yang terpancar dari raut muka para prajurit Tuban itu seakan-akan mengatakan, ”Inilah kami prajurit Kadipaten Tuban yang akan menentukan hasil akhir peperangan.”

Ranggalawe tengah duduk dengan gagah diatas punggung kudanya yang bernama Mega Lamat. Sebagian rambutnya yang tersanggul terlihat rapi, sisanya melambai-lambai terkena hembusan angin. Sorot matanya yang tajam memancarkan kewibawaan dan kesungguhan tekad. Sebilah keris dengan werangka gayaman yang terbuat dari kayu cendana terselip di pinggang sebelah kiri tepat di depan lambungnya, menunjukkan bahwa dia adalah pimpinan bala tentara Tuban dalam peperangan ini.

Barisan Majapahit berderet di sebelah timur menghadap ke barat, sedangkan barisan Tuban berderet di sebelah barat menghadap ke timur. Karena jumlah pasukan Majapahit lebih banyak, hampir dua kali lipat jumlah musuhnya maka gelar perang yang dipilih adalah ”Supit Urang”. Lembu Sora berada di depan barisan pasukan yang menggambarkan kepala, sedangkan Kebo Anabrang dan Patih Nambi berada di kedua sisi supit udang sebelah kiri dan kanan. Gelar pasukan ini memang menguntungkan bagi pihak yang memiliki jumlah bala tentara lebih besar karena dengan membagi pasukan di kedua sisi medan perang maka sangat memungkinkan untuk melakukan pengepungan terhadap pasukan musuh.

Ranggalawe bukan anak kemarin sore, sebelumnya dia juga merupakan seorang satria Majapahit yang berpengalaman bahkan pernah berjasa besar dalam pendirian kerajaan Majapahit. Dia tahu. Untuk mengimbangi gelar perang yang digunakan oleh musuh, dia memilih gelar perang ”Garuda Melayang”. Ranggalawe sengaja melebarkan posisi pasukannya untuk menghindari pengepungan yang bakal dilakukan pasukan Majapahit.

Setelah gagal membujuk kemenakannya untuk menyerah maka tidak ada jalan lain bagi Lembu Sora, sebagai senopati utama Majapahit, dia yang pertama menyerukan bahwa perang telah dimulai.

Tengara perang akhirnya ditabuh, terdiri dari berbagai genderang, bende, gong dan beri. Dari kejauhan bala tentara kedua belah pihak tampak seperti dua air bah yang bertemu. bendera-bendera dan umbul-umbul berkelebatan laiknya kobaran api yang tengah membakar hutan belantara. Pekikan perang para pasukan dari kedua belah pihak terdengar seolah mampu membelah langit dan mengaduk lautan. Sorak sorai mereka menelan bunyi-bunyian gong dan sebagainya hingga nyaris tak terdengar lagi.

Bunyi dentingan logam beradu, besi, baja, dan kuningan terdengar bersahutan saling mendahului. Ribuan anak panak yang dilepaskan dari gendewa beterbangan memenuhi angkasa. Derap langkah kaki kuda menerbangkan debu membentuk semacam kabut tebal yang menyelimuti palagan.

Bunyi tetabuhan, derik roda-roda kereta perang maupun ringkikan kuda terdengar bercampur baur dengan jerit kesakitan dan teriakan para prajurit layaknya gunung longsor yang jatuh menimbun pedukuhan. Pertempuran antara pasukan Majapahit dan Tuban berkecamuk dengan ganas, prajurit di kedua belah pihak tidak mungkin lagi bisa untuk mundur.

Ranggalawe mengamuk diatas punggung kudanya, kerisnya berkelebatan tak mengenal belas kasihan mencabut nyawa ratusan prajurit musuh. Tak terbilang lagi jumlah anak panah yang menghujani tubuhnya, tatkala mengenai sasaran panah-panah itu malahan patah. Tubuh Ranggalawe menyala tidak terluka sedikitpun, dia kebal.

Saat matahari telah naik sepenggala, tanah di medan pertempuran tersebut telah basah oleh darah. Prajurit dikedua belah pihak telah banyak yang terluka maupun tewas, namun dari kejauhan masih saja terlihat barisan-barisan baru berdatangan seakan-akan tiada habisnya.

Seperti halnya para pasukan berkuda Majapahit yang lain, Wiratha dengan gagah berani menerjang barisan bala tentara Tuban lalu membuatnya tercerai berai. Dia mengamuk bak banteng kedaton, menyambar ke segala penjuru. Tak terhitung lagi berapa banyak musuh yang telah mati diujung kerisnya. Adipati Tuban harus menebus dengan harga yang mahal atas pemberontakan mereka terhadap Majapahit, tekad Wiratha dalam hati.

Tiba-tiba pemuda itu merasakan sesuatu sedang melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi, membelah udara di sekitarnya. Wiratha berkelit pada saat yang tepat, tombak itu hanya mengenai ruang hampa. Namun ternyata penyerangnya telah memperhitungkan hal itu, Wiratha tidak bisa menghindar lagi pada serangan kedua.

Sebilah tombak meluncur menghantam perut kuda yang ditungganggi pemuda itu, kuda itu meringkik kesakitan kemudian terguling diatas tanah bersama dengan penunggangnya. ”Cemani!” teriak Wiratha.

Cemani telah terkapar mati, tombak itu menembus perutnya hingga mengenai jantung. Tertatih-tatih Wiratha berusaha untuk bangkit, rasa nyeri terasa dalam menusuknya, dia menyadari salah satu tulang rusuknya patah. Sejenak Wiratha memandang kudanya yang telah mati, lalu dengan penuh kemarahan mata pemuda Majapahit itu mencari-cari penyerangnya.

Di kejauhan tampak sesosok penunggang kuda berjalan mendekatinya dengan keris terhunus. Wajah lelaki berjenggot tebal itu ternyata sudah tidak asing lagi, ”Dirgabau,” desis Wiratha.

”Akhirnya aku menemukanmu Wiratha, urusan kita belum selesai,” berkata Dirgabau dari atas punggung kuda.

Meskipun telah kehilangan kudanya Wiratha masih berdiri dengan tegak menantang lawan yang datang mendekatinya. Tangan kanannya menggenggam erat sebilah keris yang selalu menemaninya dalam berbagai medan pertempuran.

”Majulah, aku ada di sini memang untuk menumpas pemberontak macam kalian yang merongrong kewibawaan pemerintah Majapahit,” sambut Wiratha.

”Kami bukan pemberontak seperti yang kau kira, kami hanya mepertahankan pendirian terhadap ketidakadilan sang Prabu,” sahut prajurit Tuban berjanggut tebal itu.

”Persetan! Bagiku kalian tetaplah pemberontak,”

”Baiklah, hari ini akan kita tentukan, siapa di antara kita yang masih bisa melihat matahari terbit esok pagi,” kata Dirgabau seraya meloncat turun dari punggung kuda.

Wiratha menggeram, dia segera mengambil ancang-ancang bersiap untuk adu kadigdayaan. Kini kedua prajurit itu sudah berhadapan dengan keris terhunus, mata mereka saling menatap tajam seolah berusaha menerobos masuk ke dalam pikiran lawan. Setelah merapal mantra masing-masing, mereka mengerahkan segenap ilmu kanuragan yang dimiliki.

Lembu kaniya kang munggah ing pundakku, sira tangia. Sang Cacing putih kang munggah ing ula-ulaku, sira tangia. Sang puter putih kang munggah ing jenggotku, siro tangia. Sang jakir putih kang munggah ing dlamakanku, sira tangia. Bek meneng, cut turun cahya sukma sajroning jantung, minungan kuat, teguh rasa dening Gusti Pengeran,” Bibir Dirgabau berkomat-kamit, matanya tetap menatap tajam musuh dihadapannya layaknya kucing candramawa.

Wiratha mengambil kesempatan pertama, dia melompat ke depan sembari mengayunkan kerisnya mengicar perut lawan. Dirgabau berhasil mengelak, dia bergeser kesamping. Namun demikian Wiratha tidak mau melepaskan musuh begitu saja, dia terus mengejar. Serangan bertubi-tubi dilancarkan prajurit Majapahit itu bagaikan seekor ular sendok yang tengah memburu mangsa. Meskipun usianya jauh lebih tua akan tetapi Dirgabau tidak kalah gesit, dia berhasil menepiskan setiap serangan lawan.

”Ayo! Apakah prajurit Tuban hanya diajarkan untuk menghindar?” seru Wiratha, kemarahannya mulai meluap. Rupanya Dirgabau berhasil memancing amarah pemuda itu.

Perang tanding mereka berlangsung cukup sengit, para prajurit lain dari kedua belah pihak yang bertikai itu tidak ada yang mencampuri adu kadigdayaan kedua prajurit tersebut. Wiratha tahu bahwa musuhnya belum sekalipun melukainya, akan tetapi semua serangannya juga berhasil dihalau Dirgabau. Sepintas lalu tampaknya Wiratha memang sudah diatas angin, namun sebenarnya masih sulit untuk menentukan siapa yang akan menang.

Wiratha memang seorang pesilat tangguh, tapi kali ini dia kalah tangkas. Musuhnya segesit belut, serangan pemuda itu sama sekali tak sempat menyentuh sasaran. Sekali lagi Wiratha mempercepat serangan, sayangnya itupun tetap tidak mampu menjebol pertahanan Dirgabau. Cara bertarung seperti ini tidak akan membuatku unggul, kata Wiratha dalam hati.

”Bedebah pengecut! Kau membuatku marah!” teriak Wiratha. Bertarung tanpa hasil, membuat amarah pemuda tampan bertubuh tegap itu semakin berkobar-kobar. Serangannya semakin tidak terkendali, menyambar kesana-kemari. Dirgabau menyadari akan hal itu, dia semakin mengambil keuntungan dari situasi yang ada.

Beberapa saat kemudian, meski telah mengerahkan segenap kemampuannya tapi Wiratha masih juga belum berhasil merobohkan musuhnya. Justru yang terjadi adalah kekuatannya yang semakin menyusut, kecepatannya pun mulai menurun.

Pada saat yang tepat tiba-tiba Dirgabau yang sebelumnya selalu mengelak, kali ini melompat maju merapat penyerangnya. Wiratha yang sama sekali tidak menduga akan hal itu terkejut, serta merta dia mundur kebelakang untuk mengambil jarak. Namun dia terlambat mengelak ketika sebuah pukulan yang telah dilambari aji-aji menghantam dadanya, sontak pemuda itu terpental kebelakang.

Tulang dadanya serasa remuk, nafasnya sesak tercekat di tenggorokan. Darah merah kental meleleh dari mulutnya, Wiratha terhuyung-huyung. Dia tersentak kaget manakala menyadari bahwa musuhnya ternyata masih memburunya, sekejap Dirgabau telah menerjang dengan keris terjulur mengarah ke dadanya.

Susah payah Wiratha berhasil menangkis serangan itu, tapi Dirgabau sudah memperkirakannya. Pertahanan bawah terbuka, Dirgabau itu memutar tubuhnya lalu dengan cepat menikam lambung Wiratha.

Pemuda itu tidak sempat berbuat apa-apa. Keris lawan menembus lambungnya, dia menjerit tertahan. Wiratha melihat darah mengucur dari luka yang menganga di lambungnya saat Dirgabau mencabut kerisnya, pemuda itu jatuh berlutut di depan lawannya. Tosan aji yang digenggamnya terlepas, tergeletak diatas tanah yang telah basah oleh darah.

Tubuhnya menggigil kedinginan, dia baru menyadari bahwa sebagian ususnya telah terburai keluar dari luka yang menganga itu. Sejenak ingatannya tertuju pada wajah ayu seorang gadis yang selama ini selalu dicintainya dengan sepenuh hati. Terbayang seulas senyumannya yang selalu tulus, kata-katanya yang lugas, tawa riangnya di kala senang, dan sedu sedan tangisannya di kala sedih.

Dia adalah gadis yang selama ini selalu bersemayam di dalam kepalanya, mengambil sebagian jiwa dari raganya. Kepada gadis itu pula Wiratha pernah meninggalkan sebuah janji, untuk menikahinya lalu memboyongnya ke Kutaraja. Hidup bersama membina rumah tangga, membesarkan anak-anak mereka kelak, dan berbahagia hingga usia tua.

”Suhita….,” ucapan itulah yang terakhir keluar dari bibir Wiratha. Pemuda itu akhirnya roboh, dan mati dengan segala impiannya. Bersama sebuah janji yang tidak akan pernah bisa untuk ditepatinya.

Dirgabau masih berdiri di hadapan musuhnya yang telah membujur kaku tersebut, tertikam oleh kerisnya. Seulas senyuman penuh kebanggaan mengambang di wajahnya.

”Dirgabau!” disela-sela suara gegap gempita peperangan yang masih berkecamuk terdengar teriakan lantang menyebut namanya. Lelaki itu berpaling kesana-kemari mencari asal suara. Kemudian matanya tertuju pada seorang pemuda yang dikenali dari pakaiannya sebagai salah satu prajurit Majapahit. Pemuda itu tengah memandangnya penuh kebencian dengan tangan kanan menggenggam sebilah keris.

”Dirgabau!” teriak pemuda itu sekali lagi. Sekilas terlihat mata pemuda itu melirik mayat Wiratha, ada rona kesedihan yang terpancar dari raut mukanya. Kemudian dia kembali menatap tajam Dirgabau dengan penuh kemarahan. ”Kau masih ingat padaku?” berkata pemuda itu.

”Tentu saja, aku sempat melihatmu bertarung kemarin. Tapi kurasa kau tidak akan mampu bertarung sehebat kawanmu,” Dirgabau menyeringai.

X         X         X

Dua hari sebelumnya di pelabuhan Tuban

Senja itu tidak jauh berbeda dari hari-hari indah yang telah lalu. Sebuah pelabuhan di teluk kecil di dekat muara sungai Brantas, menghadap langsung ke laut utara Jawa yang tenang. Cahaya matahari yang temaram menghias cakrawala, sinarnya melukis lautan dengan warna jingga berbaur dengan warna laut. Pergantian terang menjadi gelap, siang menjadi malam menciptakan nuansa yang indah memikat hati siapapun yang menyaksikannya. Debur ombar menyapa dengan lembut membasahi bibir pantai. Dedaunan kering pepohonan di tepi pantai berterbangan mengiringi hembusan sang bayu.

Para warga pantai menjalankan kegiatan mereka sehari-hari dengan sungguh-sungguh, tidak terburu-buru namun pasti. Beberapa kapal pedagang terlihat tengah sibuk dengan pemuatan barang mempersiapan pemberangkatan mereka ke Malaka. Para nelayan baru saja kembali ke pantai setelah seharian merasakan terik matahari di tengah lautan lepas, membawa keranjang-keranjang bambu yang berisi beraneka ragam ikan hasil tangkapan mereka. Sementara di rumah-rumah dagang di sepanjang pelabuhan tampak sedang sibuk tawar menawar harga antara para penjual dengan para calon pembeli, beberapa pembeli yang mendapatkan harga sesuai wajahnya berseri-seri meninggalkan pelabuhan dengan membawa berbagai jenis ikan; tuna, bandeng, cumi-cumi dan lain sebagainya.

Keadaan politik yang sedang memanas antara Kadipaten Tuban dengan pemerintah pusat Majapahit sepertinya tidak terlalu mempengaruhi warga disana. Hanya tampak beberapa warga saja yang tengah serius membicarakan situasi tersebut di beberapa warung kecil di sekitar pelabuhan, sedangkan yang lainnya tetap sibuk dalam rutinitas masing-masing.

Sebenarnya justru hanya sebagian kecil saja warga yang tidak pernah tahu situasi politik Tuban saat ini, kebanyakan dari mereka telah mendengar bahkan melihat sendiri bahwa dalam waktu dekat ini akan ada penyerbuan pasukan Majapahit, sebuah lahan perkemahan tentara dengan bendera-bendera dan umbul-umbul berwarna merah-putih telah didirikan di sebelah timur perbatasan Tuban.

Para kepala desa di seluruh pelosok Kadipaten Tuban pun telah mempersiapkan pemuda-pemuda unggulan dari desa mereka masing-masing untuk bergabung dengan adipati menggalang kekuatan guna menghadapi serbuan Majapahit. Beberapa pekan terakhir para pemuda itu telah dikumpulkan di barakbarak pasukan dan berlatih sodoran setiap hari di alun-alun kadipaten yang dilatih langsung oleh para senopati Tuban sendiri.

Di sisi lain pelabuhan Tuban, terpisah dari segala kegiatan yang sedang berlangsung di sana. Sepasang anak muda tengah duduk berdampingan di bawah sebuah pohon beringin yang menatap pesisir laut, sulur-sulur beringin itu terlihat seperti melambai-lambai menyapa ramah para nelayan yang sedang menarik perahu-perahu mereka ke pantai setelah seharian melaut.

Muda-mudi itu terlihat layaknya sepasang merpati yang tengah memadu kasih, mereka berpandangan mesra dengan kedua tangan yang saling berpaut. Mata mereka memancarkan perasaan yang menyelubungi mereka saat ini, saling menatap lembut penuh kasih. Rambut mereka menari-nari diterpa hembusan angin laut yang mulai terasa dingin.

Seorang pemuda tampan dengan badan tegap, otot-ototnya terlatih, pakaiannya yang gemerlap menunjukkan bahwa dia bukan dari kalangan biasa. Meskipun dia tidak pernah menyebutkan dirinya namun orang awam pun akan melihat dia adalah seorang prajurit, gandar kerisnya terselip di stagen pada pinggang bagian belakang.

Sedangkan yang bersama pemuda itu adalah seorang gadis berparas elok, tubuhnya langsing dengan kulit sawo matang yang lembut. Rambutnya disanggul indah dengan sebuah konde cantik yang terselip rapi menghiasi. Suhita adalah seorang putri kepala desa di salah satu pedesaan di Kadipaten Tuban yang tidak terpaut jauh dari pelabuhan.

Banyak pemuda dari beberapa desa sepanjang pantai utara Jawa yang jatuh hati pada Suhita, mereka siap memberikan apapun yang diminta gadis itu, bahkan mungkin kepala mereka jika dia memintanya. Namun ternyata kembang desa itu mempunyai pilihan lain. Dia memberikan hatinya kepada seorang pemuda kutaraja yang menjadi salah seorang prajurit Majapahit, nama pemuda yang beruntung itu yaitu Wiratha. Seorang pemuda kutaraja kelahiran Daha.

Mereka bertemu dua tahun yang lalu, ketika itu Suhita turut rombongan ayahandanya ke kutaraja untuk menghadap Dharmadyaksa ring Kasydiwan berkaitan tentang perihal keagamaan. Dharmadyaksa ring Kasydiwan adalah salah satu pejabat khusus Majapahit yang ditunjuk untuk mengatur tata tertib kehidupan beragama untuk agama Syiwa.

Semenjak pertemuan mereka pertama kali di kutaraja, selanjutnya Wiratha sering bertandang ke Tuban guna menemui gadis yang telah menambat hatinya itu. Kedua orang tua Suhita pun tidak keberatan dengan masuknya Wiratha ke dalam kehidupan anaknya, bagi ayahanda Suhita apabila hubungan itu kelak berlanjut ke mahligai pernikahan maka merupakan kebanggaan tersendiri baginya mendapatkan seorang menantu dari kalangan prajurit kutaraja.

”Kangmas, sampai kapan semua ini akan berakhir?” Suhita bertanya pada kekasihnya, ada rasa kecemasan yang terdengar dari nada suara kembang desa itu.

”Entahlah Diajeng, tapi aku juga berharap ketegangan antara Kadipaten Tuban dengan Majapahit ini akan segera berakhir. Bahkan jika Gusti Lembu Sora berhasil membujuk Gusti Ranggalawe untuk menyerah maka peperangan tidak akan pernah terjadi,” jawab Wiratha, tangannya merangkul bahu gadis disampingnya. Matanya menatap debur ombak di lautan lepas, ombak itu tampak menari-nari indah dengan disorot sinar kemerah-merahan dari matahari yang mulai meninggalkan singgasananya menuju ke peraduan.

Sementara kesibukan di sisi lain pelabuhan belum juga surut, suara tawar menawar para pedagang dan pembeli masih ramai terdengar. Berseliweran pula para nelayan yang mulai berkemas pulang setelah menyerahkan hasil tangkapannya ke rumah-rumah dagang untuk di tukar dengan beberapa keping uang gobog maupun barang kebutuhan sehari-hari.

”Semoga saja Gusti Lembu Sora berhasil membujuk Gusti Adipati untuk menghadap Sang Prabu, sehingga pertumpahan darah tidak perlu terjadi. Mengingat jasa-jasa beliau kepada Majapahit, aku yakin Sang Prabu akan mengampuni Gusti Adipati,” ucap Suhita, matanya menerawang menatap deburan ombak yang menyapu ke tepi. Gadis itu tahu, Adipatinya pernah berjasa besar kepada Kerajaan Majapahit. ”Bagaimana juga peperangan selalu mendatangkan penderitaan dan kesedihan. Akan banyak orang tua yang kehilangan anak-anaknya, istri yang kehilangan suaminya, lalu anak-anak yang kehilangan ayahnya.”

”Namun jika jalan damai tersebut tidak berhasil ditempuh, maka peperangan tidak bisa dielakkan lagi. Aku sebagai seorang prajurit Majapahit harus dapat menempatkan kepentingan negara di atas segalanya, termasuk kepentingan pribadiku sendiri, Diajeng,” sahut Wiratha.

”Aku tidak akan menghalangi Kang Mas menjalankan kewajiban, hanya saja kali ini aku merasa takut Kang Mas…” kata Suhita, sejenak kemudian dia mulai terisak. Entah kenapa, tiba-tiba hati Suhita terasa begitu berat melepaskan kepergian kekasihnya ke medan perang. Akan tetapi dia tahu, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya meneteskan air mata yang sulit untuk di bendungnya.

”Tenangkanlah hatimu Diajeng, walaupun harus pecah perang antara Majapahit dengan Tuban. Yakinlah bahwa aku pasti akan kembali ke sisimu, dan aku akan memenuhi janjiku,” Wiratha meraih bahu kekasihnya. Kemudian dipandanginya lekat-lekat mata gadis pujaannya itu penuh keyakinan, berusaha untuk meredakan kesedihan yang tengah melanda hatinya.

”Masih ingatkah janji Kang Mas padaku?” Suhita mengusap air mata yang mengalir membasahi pipinya, namun mata itu masih terlihat berkaca-kaca.

”Tentu saja Diajeng, setelah semua ini berakhir akan ku penuhi janji itu. Sebelum akhir tahun ini aku akan melamarmu, meminta dirimu kepada kedua orang tuamu. Lalu aku akan memboyongmu ke Kutaraja, kita akan hidup bahagia selamanya disana,” Wiratha tersenyum menatap kembang desa itu penuh kasih. Dia merasakan hidupnya terasa begitu sempurna ketika berada disamping gadis yang dicintainya itu. Lembut sang bayu membelai rambut kedua anak manusia yang sedang kasmaran itu.

”Lalu….,”

”Lalu kita akan membina sebuah rumah tangga, dan membesarkan anak-anak kita kelak. Lima orang anak,” sahut Wiratha.

”Tiga saja Kang Mas,” senyuman mulai mengambang kembali di wajah ayu putri kepala desa itu.

”Iya, terserah Diajeng saja,” prajurit Majapahit yang masih muda itu membalas senyuman kekasihnya.

Senja yang indah bagi keduanya, beberapa ekor burung camar terlihat sedang asyik bercengkrama dengan hembusan angin pesisir. Suara deru ombak seakan telah menjelma menjadi kidung cinta yang mengalun merdu mengiringi suasana senja di pantai.

”Jadi, Kang Mas akan kembali ke perkemahan besok pagi?”

”Benar Diajeng, besok pagi sebelum matahari terbit aku dan Senadi harus segera kembali ke perkemahan. Kami harus sebisa mungkin supaya jangan sampai terpergok prajurit Tuban yang sedang meronda,” jawab pemuda itu. Sebenarnya Wiratha sadar, saat ini dia bersama dengan kawannya, Senadi tengah menyusup ke dalam daerah Tuban. Dia juga tahu resiko yang akan mereka hadapi apabila keduanya sampai tertangkap musuh, namun rasa rindunya kepada sang kekasih telah mengalahkan segalanya, bahkan bahaya yang menghadang di depan mata.

Demikian Senadi, dia adalah seorang kawan yang setia. Meskipun harus menempuh resiko yang besar, dia tetap tidak membiarkan Wiratha berangkat sendiri menyusup ke pelabuhan Tuban. ”Tidak Wiratha, meski kau melarangku tapi aku akan tetap menyertaimu. Aku tidak akan mampu memandang langit lagi karena malu jika sampai membiarkanmu sendirian masuk ke dalam sarang harimau,” kata Senadi waktu itu.

Sinar matahari akhirnya benar-benar tenggelam ke dalam peraduan, kegelapan perlahan mulai menyelimuti bumi. Bintang-bintang bermunculan satu-persatu berkelap-kelip menghiasi langit. Bulan sabit mengintip dibalik gumpalan awan, seolah masih ragu-ragu memutuskan untuk turut menghiasi malam ataukah kembali lagi bersembunyi ke dalam biliknya.

Wiratha dan Suhita berjalan bergandengan meninggalkan pesisir laut yang semakin terasa dingin, menghampiri kuda hitam milik Wiratha yang ditambatkan disebuah pohon rindang di tepi muara Brantas. Beberapa saat kemudian keduanya telah tampak berboncengan diatas kuda hitam itu berpacu meninggalkan pelabuhan Tuban menuju desa tempat tinggal Suhita.

TAMAT

(Sebuah Mimpi Yang Hilang, Oktober 2008)

Catatan:

Cerita Pendek ini pernah diterbitkan dalam buku Antologi Cerpen JUNG JAWA karya Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan oleh Babel Publishing pada tahun 2009 dengan ISBN 978-979-25-3953-0